• Home
  • About
    • About Me
    • About RPB
    • Disclosure
  • Parenting
    • Perkembangan Anak
    • Dunia Sekolah
  • Produktivitas
  • Kesehatan
  • Sponsored Post
    • Review Produk
    • Featured
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

Parenting, Produktivitas, pengembangan diri, dan kerja dari rumah



Sudah dua minggu saya mencoba metode manajemen waktu yang baru. Baru untuk saya maksudnya. Kabarnya teknik ini membantu kita untuk lebih fokus dan cocok banget buat emak macam saya yang pekerjaanya nggak hanya menulis saja. Nama tekniknya adalah time blocking.

Alasan saya mencoba teknik ini karena dalam bulan ini saya memegang banyak project. Dan setelah kemarin mendapat pencerahan di kelas HIIP, How to Blog professionally, saya jadi sadar, jika ada banyak banget pekerjaan Blogger yang belum saya penuhi dengan baik dan benar. 😀

Nggak heran, blog saya rasanya kok hanya jalan di tempat, staristik nggak naik, pekerjaan konten ya gitu-gitu saja .... Pokoke nggak puas, deh.

Di sisi lain, saya merasa waktu saya semua sudah terisi dengan kegiatan; baik karena pekerjaan rumah tangga, menulis, juga belajar.

Karena itu, selain mencoba tracking time lagi, saya juga mencoba mapping, sebetulnya ada berapa jam jatah waktu yang saya miliki untuk pekerjaan menulis (blogging dan content writing).

Time blocking, alternatif cara mengatur waktu untuk Ibu dengan banyak pekerjaan


Sering stres nggak sih, karena to-do list kita tidak pernah selesai? Padahal rasanya sudah mengambil jeda hanya sebentar, cuma satu-dua tarikan napas saja? #halah
Tapi kenapa ya, to-do kok tidak berkurang, sepertinya malah makin panjang?

Kalau dari pengalaman yang saya lalui selama ini (puitis mode on), to-do nggak pernah kelar karena kita nggak realistis.

To-do yang kita buat atau tulis, ya to-do aja, nggak ada gambaran waktu kapan mengerjakan atau malah tidak untuk diselesaikan.

Pakai time mapping sebetulnya bisa, tapi kalau sedang mengerjakan beberapa pekerjaan dalam satu waktu (contoh satu minggu pegang beberapa project, gitu), buat saya, time mapping nggak cukup.

Karena disana masih ada pertanyaan lanjutan, kapan dan berapa lama pekerjaan A akan dikerjakan? Bagaimana dengan pekerjaan B, berapa lama waktu yang harus dialokasikan?

Karena itulah, mulai Agustus kemarin, saya mencoba teknik time blocking.

Banyak yang mengatakan jika time blocking adalah teknik manajemen waktu pengganti to-do list.

Tapi setelah mempraktekkan teknik ini selama dua minggu, saya lebih suka menganggap jika blocking time adalah lanjutan dari to do list atau cara mengeksekusi to-do list yang telah dibuat. 

Jika dalam to do list kita hanya membuat daftar pekerjaan yang akan kita lakukan, dengan time blocking, to do list tersebut akan memperoleh gambaran waktu yang lebih nyata, kapan bisa dikerjakan, serta berapa lama pekerjaan tersebut akan dilakukan.

Sebagai ibu yang juga harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga, tentu Bunda sadar jika ada beberapa pekerjaan atau kegiatan yang tidak bisa Bunda geser-geser lagi waktunya. Misalnya, antar-jemput anak, menyiapkan masakan di pagi hari, membersihkan rumah, dan seterusnya.

Waktu-waktu seperti inilah yang kadang kita lupa untuk perhitungkan. Padahal justru di waktu-waktu inilah yang bisa membuat to-do kita semakin panjang.

Dengan kata lain, dengan membuat blocking time, Bunda akan memiliki gambaran waktu yang lebih realistis tentang to-do atau planning harian Bunda.

Aneka cara time blocking


Saya mengenal istilah time blocking pertama kali saat mengikuti kelas produtivitas coach Aji Darmawan. Tapi saat itu cara hanya ini digunakan sebagai waktu yang telah ditetapkan untuk belajar, bukan mengatur waktu secara keseluruhan.

Cara orang membuat time blocking memang berbeda-beda, diantaranya:

#1. Time blocking waktu kerja

Cara ini seperti cara yang dikenalkan coach Aji, yaitu mengalokasikan waktu tertentu untuk bekerja dengan durasi sesuai kebutuhan. 

Bagi kebanyakan orang, bisa saja berupa 8-9 jam kerja, mulai jam 8 sampai jam 5 sore. Dengan cara ini maka kita memiliki waktu untuk bekerja kira-kira 40 jam dalam seminggu. 

Setelah tahu alokasi yang waktu yang dimiliki, Bunda tinggal membagi waktu yang dimiliki untuk jenis pekerjaan yang hendak digunakan. 

Cara ini sangat bermanfaat untuk Bunda atau Sahabat RPB yang bekerja dalam bidang kreatif. Karena saat waktu kreatif terganggu, biasanya juga mengganggu fokus kreatif atau ide yang dimiliki.

#2. Time blocking waktu pribadi

Jika Bunda bebas menentukan waktu kerja, maka bukan jam atau hari bekerja yang ditentukan, tapi justru waktu pribadi yang sebaiknya Bunda alokasikan terlebih dahulu. 

Waktu pribadi yang dimaksud adalah waktu untuk memasak, mencuci, olahraga, dan lains sebagainya. 

Dengan melakukan time block pada aktivitas ini, Bunda akan tahu berapa waktu (juga hari) yang Bunda miliki untuk bekerja. 

Ini juga cara yang sedang saya coba sejak Agustus lalu. 

Saya menentukan terlebih dahulu waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, belajar dan mengaji, dan barulah membagi waktu yang tersisa untuk bekerja. 

Saya memilih cara ini, karena saat ayah sedang shift siang, waktu memasak jadi pindah lebih siang. Karena itu, setelah up down mencoba time blocking waktu kerja, metode blocking waktu pribadi sepertinya lebih tepat untuk saya saat ini. 

#3. Time blocking sesuai target

Cara ini cocok untuk Bunda yang target kerjanya ditentukan oleh waktu. Kerja remote sebagai customer service, admin sosial media, biasanya menggunakan target waktu dalam bekerja. 

Bunda yang sedang memiliki target tertentu (menurunkan berat badan, hapalan surat, berpartisipasi dalam ODOJ) juga bisa menggunakan time blocking ini untuk mencapai target yang diinginkan.

Misalkan Bunda harus menurunkan persentase lemak dan perlu berolahraga selama 2 jam di pagi dan sore, maka, blok waktu mama berdasar waktu tersebut.

Tahap-tahap membuat time blocking


1. Buat daftar pekerjaan, baik pekerjaan yang penting, pekerjaan penting satu, pekerjaan penting 2

2. Masukkan juga keperluan pribadi seperti mandi, masak, atau Bunda yang harus bekerja di luar rumah, masukkan juga waktu "dalam perjalanan" (commute time)

3. Pilih metode time blocking, dan buatlah  time blocking Bunda.


Gunakan warna berbeda untuk setiap pekerjaan. Waktu dalam perjalanan, menunggu anak disekolahan, termasuk waktu dead-time. Waktu ini juga perlu diperhitungkan, agar gambaran waktu Bunda lebih realistis.

Masukkan juga waktu untuk cek email dan sosial media. Karena kadang kita tanpa sadar menghabiskan waktu untuk kedua hal tersebut. Dengan mengalokasikan waktu, kita jadi tidak terjebak scrolling media sosial berjam-jam, dan akhirnya sadar, waktu satu jam sudah berlalu. 😀

Pengalaman mencoba time blocking selama 1 bulan


Time blocking pertama saya, gagal total. 😁

Karena di awal saya menggunakan metode waktu bekerja. Sayangnya, diantara waktu tersebut, sering banget mendapat gangguan seperti tiba-tiba diajak riyungan makan, ayah shift malam, jadi harus masak siangan, jadwal ngaji tiba-tiba berubah, dan lainnya.

Di minggu kedua, saya mencoba blocking waktu pribadi. Dengan cara ini pola produktivitas saya mulai terlihat.

Sayangnya, waktu produktivitas saya malah di pagi hari, saat koneksi internet lebih lancar, dan juga belum ada gangguan dari luar.

Jadi, saya memutuskan untuk bangun lebih pagi. Tapi ya, gitu deh, harus hati-hati, karena kalau malam telat tidur, besoknya pasti telat bangun. Akhirnya harus re-schedule, deh.

Alhamdulillah, di akhir minggu ketiga, tubuh saya mulai beradaptasi. Tanpa alarm pun, saya mulai bangun jam 2 pagi. 

Sejauh ini saya merasa time blocking membantu saya untuk lebih fokus pada pekerjaan, karena sudah yakin, semua sudah punya waktu untuk dikerjakan.


Oya, time blocking ini awalnya memang ribet, karena harus membuat tabel, dan teliti dengan jadwal seminggu ke depan. Tapi Insya Allah, membantu keberhasilan kita dalam mengatur waktu.


Demikian ide cara mengatur waktu untuk Bunda yang memiliki banyak pekerjaan. Semoga bermanfaat.... 😊
Share
Tweet
Pin
1 komentar
Apa buku agenda yang paling tepat untuk ibu rumah tangga?
(sumber gambar: freepik.com)


"Mbak, apa buku agenda yang paling oke untuk ibu rumah tangga? Aku kagok kalau pakai buku agenda kerja yang dijual di pasaran."
Seperti itulah kira-kira curhatan beberapa ibu yang juga sedang belajar mengatur waktu di rumah.

Seperti juga trik mengatur waktu yang paling tepat, bagi saya, buku agenda atau buku catatan yang paling tepat, ya buku yang sesuai dengan keseharian kita.

Saya pribadi menggunakan buku tulis spiral biasa untuk mencatat to-do-list dan non-to-do-list. Catatan tersebut saya jadikan satu dengan journaling saya.

Iya, buku journaling saya memang all in one, semua tumplek bleg disana. Isi journal saya memang gado-gado, ada gratitude journal, ada daftar belanja, rencana masak mingguan, time mapping, catatan kesehatan, kegalauan, journal mimpi, semua ada.  😀😀😀

Kalau kata teman saya, saya ini tipe prefeksionist, jadi cocok dengan catatan all ini one. 

Bagian perfeksionisnya mungkin bener ya, tapi saya juga punya tujuan kenapa memilih menjadikan satu semua catatan; biar nggak repot, itu saja. Kalau semua ada di satu tempat, mau pergi kemana aja, tinggal cukup bawa satu buku kan?

Alasan lain sih, hidup kita ini kan nggak selalu berjalan sesuai rencana; jadi kadang ada janji, task, atau hal lain yang terlupa. Mengumpulkan semua yang terlewat dalam satu tempat membantu saya lebih mudah menjadwal ulang atau tidak lupa.

Nah, karena itu, sebelum memilih agenda yang tepat, kenali dulu kebutuhan Ibu, catatan seperti apa yang Ibu inginkan. 

Masih bingung? Saya punya beberapa rekomendasi buku agenda yang bisa Ibu pilih, nih.

Aneka ragam buku agenda, agar ibu sukses mengatur waktu


#1. Buku agenda kerja

Ini sih, jenis agenda yang umum, ya. Biasanya didalamnya sudah berisi kolom harian, mingguan, juga bulanan. Beberapa malahan dilengkapi juga dengan lembar untuk mencatat nomor telepon, pengeluaran harian, goals (cita-cita), dan lain sebagainya.

Untuk Ibu rumah tangga, mungkin buku agenda seperti ini terasa berlebihan, ya? Tapi menurut saya, tidak ada salahnya dicoba. Kan sedang mencari "pasangan tepat" untuk mengatur waktu dengan baik? Setiap orang kan punya preferensi masing-masing.

Agenda yang cantik bisa membuat ibu tambah semangat mengatur waktu, lho. Plus, bagian bonusnya juga bisa ibu manfaatkan untuk mencatat pengeluaran, nomor telepon penting, dan masih banyak lagi.

Oya, buku agenda kerja seperti ini, biasanya juga sudah dilengkapi dengan tanggal, tahun, jam, jadi ibu tinggal isi saja dengan kegiatan, atau to-do-list. Praktis banget.


#2. Dream planner

Nah, kalau yang ini cocok untuk Ibu yang sedang punya cita-cita tertentu; seperti menurunkan berat badan, pengen beli rumah, ingin segera khatam menghafal Al-Qur'an dan seterusnya.

Menurut saya, dream planner itu keren lho, karena membantu kita untuk fokus pada tujuan.

Beberapa hari memakainya, saya merasa lebih bersemangat untuk mengatur waktu, dan tidak mudah goyah dengan godaan-godaan kecil yang mampir.

Dalam dream planner, Ibu akan diajak untuk mengenali apa sih, sebetulnya goals ibu; mengapa goals itu penting, bagaimana ibu akan mencapainya, memperkirakan hambatan, rencana bulana, mingguan, hingga to-do-list harian. Komplit kan? 

Hal lain yang saya suka dari agenda dream planner adalah, enggak ada tanggalnya. Jadi bisa mulai diisi kapan saja, dan sampai kapan saja.

#3. Agenda produktivitas

Saya baru nemu buku agenda ini setelah mengikuti kelas produktivitas coach Aji Darmawan. Dan sepertinya, tidak banyak (atau malah belum ada, ya) agenda seperti ini dipasaran.

Hampir mirip dengan dream planner, agenda produktivitas ini juga dilengkapi perencanaan mingguan, bulanan, dan harian.

Karena agenda ini lebih fokus ke produktivitas, maka Ibu akan diajak untuk menentukan juga prioritas kegiatan utama, kedua, dan ketiga.

Oya, buku agenda produktivitas ini dibuat dalam bentuk tri wulan atau 12 pekan. Karena dalam prinsip produktivitas, perencanaan efektif, akan kelihatan per tiga bulan.

Buku agenda produktivitas ini juga un-dated; alias nggak ada tanggalnya. Jadi, ibu bisa mulai kapan saja menggunakan buku agenda ini, tanpa khawatir ada penanggalan yang kadaluarsa.

#4. Buku tulis biasa

Ini nih, buku agenda favorit saya. Bagi saya, yang konvensional itu lebih asik. 😀

Tapi saya nggak pakai buku tulis biasa, saya memilih pakai buku tulis yang rada cantik; yang kertasnya polos, sampulnya yang hard cover atau plastik, dan jilidnya pun yang kuat atau dari spiral.

Nggak ada tujuan utama sih, biar beda saja dengan buku tulis catatan sekolah Hana.


Oya, selain keempat buku diatas, Ibu juga bisa menggunakan aplikasi Android atau IOS sebagai buku agenda. Hanya saja, kalau sedang low bat, jadi agak repot pengen lihat jadwal harian yang berjalan.

Alternatif lainnya, pakai board agenda. Tapi sejauh ini, saya baru lihat Indscript saja yang meluncurkan agenda serupa. Bentuknya sih, cukup kecil, bisa dilipat, jadi Ibu juga akan lebih mudah membawanya kemana saja.


Itulah Ibu, beberapa rekomendasi buku agenda yang bisa Ibu coba agar sukses mengatur waktu dan produktif di rumah. Semoga bermanfaat, dan selamat mencoba!

Share
Tweet
Pin
No komentar
manfaat jurnaling


Karena sedang masuk ke tim Buzzer yang tugasnya kadang nge-tweet sampai malam, hampir seminggu lebih saya berhenti menulis jurnal.

Awalnya semua baik-baik saja, tapi kemarin mulai ada perasaan yang nggak enak yang saya rasakan. Pekerjaan saya rasanya kok makin banyak saja, dan meski sudah mengurangi jam istirahat, tapi tidak ada yang selesai.

Saya juga jadi gampang marah. Mudah komplain, dan entah kenapa, susah sekali untuk tetap berpikir positif. Pokoknya, ada sesuatu yang terasa tidak beres!


Saya jadi mengamini apa yang dimaksud oleh Darius Foroux, bagaiaman menulis dapat membuatnya untuk tetap menjadi positif.

Bagi saya, menulis jurnal seolah melihat kembali apa yang telah saya lakukan, juga pengalaman dan pelajaran penting yang saya peroleh.

Menuliskan kembali apa yang telah saya alami, seperti sebuah repetisi, - pengulangan-, dari pelajaran, hikmah, dan kebijaksanaan yang telah saya peroleh. 

Pengulangan ini seperti sebuah “kegiatan menanam” pada diri saya sendiri, dan sepertinya perlahan membentuk sebuah karakter dalam diri saya. Keberhasilan saya untuk move on dari masa lalu, kebiasaan membuat jurnal bersyukur, terwujudnya afirmasi, pelan-pelan menanamkan banyak hal positif pada diri saya. 

Dan saat ada hal negatif (rasa pesimis, sinis, menganggap buruk orang lain, dsb), alarm dalam diri saya otomatis berbunyi. Bila memang bisa jauhi, maka lebih baik pergi, jika tidak, pikiran saya punya banyak data positif untuk mengcounter serangan negatif tersebut. 

Meminjam istilah Darius Foroux, menulis jurnal seperti sebuah latihan spiritual. Dan seperti saat Sahabat berlatih di Gym untuk mengasah dan menguatkan otot tubuh,- menulis jurnal seperti mengatakan pada diri kita, bahwa kita sedang belajar, mengumpulkan setiap pengalaman yang akan mengasah kita menjadi orang yang lebih baik.

Jika dapat saya rangkum, ada 5 manfaat jurnaling yang telah saya rasakan selama ini

6 Manfaat jurnaling dalam keseharian saya (dan mungkin untuk Anda juga)


#1. Wadah pikiran

Kalau saya ditanya kenapa rajin menulis jurnal, biasanya saya menjawab, jurnaling itu seperti Pensieve Dumbledore. Karena di dalamnya ada catatan yang sangat rinci tentang apapun yang terlintas dalam pikiran kita; seperti goals, hambatan, ide-ide baru dan lain sebagainya. 

Jurnaling memang mirip dengan menulis diary, bedanya jurnaling memiliki tema yang lebih spesifik. Misalkan jurnaling dengan tema perbaikan mindset, memaafkan masa lalu, tracking pekerjaan, belajar produktivitas, dan lain sebagainya. 

Saya sendiri menggunakan jurnal untuk tracking produktivitas dalam bekerja, tapi di dalamnya, saya juga memasukkan lintasan pikiran, hikmah yang saya alami dan mempengaruhi efektivitas saya dalam bekeerja. 

Saya juga memiliki jurnal LOA, jurnal tentang mimpi dan afirmasi. 

Pengen juga sih, bikin jurnal perkembangan Hana, memasuki usianya yang sepuluh tahun ini, ada banyak hal baru yang sayang banget untuk dilewatkan. 

#2. Sebagai pelampiasan kepenatan

Kalau sedang banyak pikiran, saya juga melepaskan penat dengan doodling, menghiasi halaman jurnaling saya dengan gambar ala-ala. Kadang juga saya tempelkan foto-foto impian saya, ajang bermain washi tape, tempat melampiaskan hobi nggambar zen doodle, dan lain sebagainya. 

Enggak cakep sih, but it's okay, it's for my self any way 


Lihat postingan ini di Instagram

My precious October 💓💓💓
Sebuah kiriman dibagikan oleh Rahayu Pawitri (@rahayu_pawitri) pada 6 Okt 2018 jam 12:34 PDT

#3. Rekam jejak

Ya karena saya sedang belajar produktivitas, dan kebetulan juga pekerjaan saya ini kok ya, review kelas-kelas pengembangan diri, jadi, begitulah, jurnal pekerjaan saya ini akhirnya juga berisi tentang perkembangan diri saya selama mengikuti kelas. Gado-gado pokoknya, tapi tetap masih dalam satu tema. 

#4. Tempat untuk membuat to do list

Karena jurnal saya adalah jurnal produktivitas, tentu saja ada to do list disana. Apa saja yang ingin kerjakan, bagaimana saya mengerjakannya, dan berapa lama saya dapat fokus dalam mengerjakan pekerjaan tersebut. 

#5. Membantu untuk fokus

Nah, karena semua ada di satu tempat, saya jadi lebih mudah untuk mengoreksi hal-hal yang terlewat. Dan karena sudah lengkap dengan to do list plus time mappingnya, akhirnya saya nggak berani cheating time lagi (kecuali ada faktor eksterna yang mengganggu ya). 

Jurnaling juga membantu saya untuk fokus pada tujuan. Karena setiap hari, mau tidak mau saya kan harus membaca goals saya. Dengan cara ini, Alhamdulillah sih, saya bisa lebih fokus. 

#6. Sarana manajemen stres

Manfaat yang satu ini, ada kaitannya dengan manfaat pertama dan kelima. 

Menurut Jim Kwik, mentor kelas Super Brain, manajemen stres adalah salah satu cara untuk menguatkan ingatan kita. 

Dan bagi saya, jurnaling membantu saya untuk melihat masalah satu per satu. Dan karena lintasan pikiran yang kruntelan di kepala juga sudah saya tuangkan dalam buku, maka pikiran saya pun lebih ringan dan tidak mudah stres. 


Jika dilihat dari keenam hal diatas, Sahabat pasti tahu, kenapa saya akhirnya merasa ada yang tidak beres atau tidak biasa dalam keseharian saya. Ya, karena akhirnya saya tidak tahu lagi, kemarin itu saya ngapain saja, sudah kerja tidak ada berhentinya, tapi kok ya, pekerjaan makin banyak saja. 

Jadi Sahabat bila saat ini sedang merasa kehilangan arah, mungkin bisa mencoba untuk mulai membuat jurnal. Apalagi kalau sedang punya goals yang ingin diraih. Biar enggak geregetan lagi, selama ini ngapain aja, kok ya nggak ada cita-cita yang tercapai juga. 

Bagaimana memulainya? Tunggu ya, di post produktivitas yang akan datang. 😉
Share
Tweet
Pin
No komentar
bisa-mengatur-waktu-semua-sesuai-jadwal

Hari Minggu saya kemarin, rasanya seperti hari Sabtu saja, karena, mau tidak mau, kemarin saya masih harus menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai di minggu berjalan.

Hari Sabtu memang saya gunakan sebagai hari cadangan (sekaligus hari review, tentu). Tapi karena hari Sabtu kemarin harus bantu tetangga yang punya hajat, akhirnya hari cadangan dan review bergeser ke hari minggu.

Dan tiba-tiba, saya jadi ingat pertanyaan yang paling sering ditanyakan jika kebetulan mendapat kesempatan sharing masalah manajemen waktu; apakah kalau sudah bisa ngatur waktu, semuanya akan sesuai jadwal?

Ya, bisa kalau Anda hidup sendiri, dan tidak berhubungan dengan siapapun. 😁😁😁

Beda halnya jika hidup dengan orang lain, atau malah pekerjaan kita terkait dengan pekerjaan orang lain. Kan tidak semua orang tahu jadwal harian kita, juga tidak ada hal di dunia ini yang bisa berjalan persis seperti mau kita. Biasanya ada saja kendala yang mengganggu, entah itu koneksi internet, anak sakit, saudara datang berkunjung, dan seterusnya.

Jadi, apakah kegiatan mengatur waktu sebenarnya adalah pekerjaan sia-sia?

Jika jadwal terganggu, apakah mengatur waktu menjadi pekerjaan sia-sia?


Saat awal-awal mulai mengenal mengatur waktu, saya juga berpikir, untuk apa mengatur waktu dan terus membuat jadwal jika kegiatan lebih sering berantakan.

Tapi ternyata konsisten membuat jadwal dan mengatur waktu kegiatan kita sehari-hari tetap lebih bermanfaat dibanding kita tidak memiliki jadwal sama sekali atau tidak mengatur waktu sama sekali. 

Kalau istilah orang sono, "manage your time will make you feel accountable"

Saya pernah membaca sebuah artikel yang diunggah di mindfulabition.net; judul "The Equanimity game: A Simple Practice to Develop Resilince".

Artikel tersebut bercerita tentang master Osensei, seorang master seni bela diri. Beliau adalah pendiri Aikido, dan banyak orang yang menyebutnya sebagai seorang artis bela diri yang paling hebat.

Ketika salah seorang muridnya memuji kemampuannya yang begitu sempurna, Osensei berkata,

I lose my center all the time. I just find it again so quickly that you can't see it. 

Seperti itulah, ketika kita sudah bisa mengatur waktu, tidak berarti semuanya akan berjalan plek ketiplek sesuai rencana, gangguan akan tetap ada, kemungkinan jadwal kacau itu biasa. Tapi mengatur waktu akan membantu kita lebih mudah kembali ke jalur yang seharusnya. 

Contoh mudahnya begini,....

Saat ini. satu-satunya musuh bebuyutan saya adalah koneksi internet. Biasanya saat cuaca mendung, atau malam hari, koneksi pasti membuat saya pengen garuk-garuk tembok, pokoknya Subhanallah leletnya.

Nah, karena sudah punya track, atau catatan waktu kapan jam efektif atau tidak, maka saya memilih memindahkan jadwal pekerjaan online ke jam berbeda. Misalnya dengan memilih bekerja lebih pagi, dan menggunakan jam-jam koneksi lelet untuk mengerjakan pekerjaan rumah, main sama Hana, rapikan catatan keuangan, dan lainnya.

Jadi, tidak pernah ada yang sia-sia. Waktu adalah aset yang paling berharga bagi kita, karena itu ada gangguan atau tidak, ada pekerjaan atau tidak, bekerja dari rumah atau tidak, akan lebih baik jika kita tetap mengatur kegiatan kita. Bagaimanapun setiap kita akan dimintai tanggung jawab atas semua yang kita lakukan di dunia bukan?

Siap mengatur waktu? Artikel "Ibu Rumah Tangga Sebaiknya juga Punya Jadwal Harian" ini mungkin membantu Anda.


Share
Tweet
Pin
No komentar
lari-dari-kenyataan


Saya masih saja terkenang dengan bab kedua dari buku Mark Manson. Kebetulan apa yang dibahas di bab kedua itu, kok ya, relate banget dengan kejadian yang saya alami akhir-akhir ini.

Saya kenal dengan seseorang, dan orang tersebut kebetulan cukup dekat. Setiap masalah baginya adalah rumit. Apapun yang ia lihat, selalu negatif. Dari hal yang sepele, dan nggak penting pun, semua terlihat negatif.

Misalnya, kubu Prabowo yang nggak becus mendukung kampanye (doi kebetulan fans berat pak Prabowo), atau sebuah stasiun swasta yang terang-terangan mendukung paslon tertentu.

Tidak hanya itu, bahkan dia bisa saja melihat sisi negatif reality show, dengan berkomentar "Sudahlah, jadi orang miskin mah nggak perlu kebanyakan keinginan" (sayangnya saya tidak tahu reality show apa yang sedang ia tonton saat itu).

Orangnya sebetulnya hobi bercanda, meski candaannya juga kadang mengomentari sisi buruk orang lain juga. Dulu kami juga selalu tertawa berasama, tapi entah kenapa sekarang terasa garing banget. Mungkin karena mengulang candaan itu-itu saja, jadi rasanya kok sudah nyebelin, ya?

Awalnya saya pikir dia memang tipe open minded, karena temannya banyak, dan banyak orang suka berteman dengannya. Tapi semakin saya mengenalnya, kok saya merasa bahwa dunia hanya benar jika dilihat dari kaca mata dia saja.

Sayangnya lagi, setiap kali diajak ngobrolin masalah yang serius, atau membutuhkan pemikiran dan rencana jangka panjang, apalagi yang butuh komitmen, pasti jawabannya hanya satu, "Ah, pusing mikirnya."

Kalau sudah sampai perkataan itu, obrolan kami pun akan berubah menjadi suara jangkrik, "krik, krik."

Karena itu ketika Mark Manson membahasnya dalam buku "Sebuah Seni Bersikap Masa Bodoh, saya pun automat teringat ama doi.

Menurut Mark Manson, tipe seperti ini akan sulit untuk meraih kebahagiaan. Karena dia suka sekali melakukan penyangkalan, tidak bersedia untuk menghadapi masalah. Padahal kunci dari kebahagiaan sebenarnya sederhana saja, selesaikan masalah.

Gambaran mudahnya seperti ini; kalau lagi weekend, kita sering malas bangun dan masak kan? Nggak tahu ya, kenapa, kalau weekend itu bawaannya kok, pengen gegoleran aja. Kerja keras kita enam hari seminggu itu rasanya sudah bisa dijadikan alasan kalau kita berhak dapat previlege tidur lebih lama.

Padahal ya tahu, kalau nggak bangun, nggak lama lagi si kecil udah pasti teriak-teriak minta makan.  Belum lagi perut yang akan melilit karena asam lambung yang menggerus-nggerus.

Menurut Mark, perasaan "kita berhak" itu ada karena kita menilai emosi diri kita terlalu tinggi. 


Emosi hanya sebagian dari persamaan dalam kehidupan kita, bukan seluruhnya. Hanya karena sesuatu itu terasa enak, tidak berarti itu baik. (hal. 40).

Ya seperti masalah bangun pagi itu. Karena kita sudah bekerja keras, maka kita kemudian merasa berhak untuk mendapatkan lebih. Padahal kalau mencoba menghadapi rasa malas itu dengan bergerak, bangun, dan pergi ke dapur walau dengan menyeret kaki; dijamin perut Anda tidak akan melilit, si Kecil pun tidak akan berteriak-teriak kelaparan.

Tidak, si Mark tidak menyuruh kita untuk menekan perasaan malas itu, akui saja, tapi juga hadapi, kalau selama Anda butuh makan, maka Anda perlu bangun untuk memasak makanan. 😁

Toh, rasa malas itu tidak akan lama bertahan begitu perut kita kenyang, atau anak Anda berteriak kegirangan karena nasi goreng lezat Anda.

Menghindari dari masalah, memilih mengerjakanya nanti, hanya akan membuat kita bahagia sesaat, tapi tidak pernah menyelesaikan apapun. Karena sesungguhnya, "apa yang kita dapatkan, berasal dari apa yang kita lepaskan."
Share
Tweet
Pin
2 komentar
cara-mendapatkan-kebahagiaan-adalah-dengan-menghadapi-masalah


"Apa maksudnya? Apakah kita tidak boleh bahagia?'

Runtuk saya dalam hati saat membaca judul bab ke-2 pada buku "Seni untuk Bersikap Masa Bodo" karya Mark Mason. Pikir saya, apa yang menjadikan buku ini begitu laris, jika penulisnya apatis seperti ini!

Pensaran dengan maksud si Penulis, saya melanjutkan membaca dengan penuh prasangka. Sungguh kondisi membaca yang paling tidak saya suka, karena sama arti saya tidak akan menikmati bacaan saya.

Mr. Manson mmebuka bab keduanya dengan kisah Sidharta Gautama, seorang pangeran, yang awalnya sangat dilindungi dari penderitaan, dan akhirnya meninggalkan kemewahan istana untuk mencari arti kehidupan sesungguhnya.

Dia juga bercerita tentang si Panda yang nyinyir, yang hobinya mengetuk pintu rumah siapa saja, dan kemudian bercerita hal-hal yang tidak pernah ingin di dengar oleh sang Pemilik rumah.

Hingga pertengahan bab hanya beberapa hal yang dapat saya garis bawahi (tuh, kan saya nggak jadi nggak bisa membaca dengan baik gara-gara sudah berprasangka). Akhirnya, saya memilih untuk meletakkan buku tersebut, dan membaca buku yang lain.

Tapi pagi ini saya mencoba melanjutkan membaca buku Mr. Mark ini. Dan akhirnya, saya pun mendapatkan jawabannya.

Kebahagiaan itu masalah. Ia hadir pada hal-hal yang justru kita lepaskan dan kita perjuangkan

Cara mendapatkan kebahagiaan justru dengan menikmati perjuangan


Saya pernah mendapat meme seperti ini,

Handphone terlihat mahal dan menawan saat kita belum memilikinya. Tapi kalau sudah dimiliki, ya, biasa saja." 

Kenapa kira-kira bisa seperti itu? Ya, karena kebahagiaan sesungguhnya tidak berada pada handphone-nya. Tapi pada perjuangan Sahabat untuk mendapatkan handphone tersebut.

Coba bayangkan seandainya Sahabat  pada akhirnya dapat membeli Iphone X setelah menabung selama satu tahun. Kira-kira cerita mana yang akan Sahabat ceritakan pada semua orang dengan penuh kebanggana; fitur dari Iphone X atau malah perjuangan sahabat untuk mendapatkannya (oya, saya yakin sekali pembaca tahu berapa harga Iphone X itu).

Saya yakin jawabannya adalah yang kedua. Sahabat akan dengan penuh semangat bercerita bagaiman Sahabat rela bekerja tambahan demi untuk mengejar sejumlah uang yang ditargetkan. Bisa jadi, Sahabat juga menahan diri untuk tidak nongkrong di kafe selama setahun, demi mendapatkan si kotak bergambar apel tergigit itu.


Nah, itulah yang dimaksud oleh Mark Manson, kebahagiaan tumbuh dari masalah (hal. 43).

Orang-orang yang akhirnya berbahagia dengan bentuk tubuh mereka, adalah orang yang menikamti cucuran keringat di gym. Para pengusaha sukses, adalah orang-orang yang pernah gagal, dan kemudian memulai lagi dari nol, belajar lagi, dan mencoba lagi.

Jadi, pilihlah medan juang Anda! Caranya dengan bertanya,

Rasa sakit apa yang Anda inginkan dalam hidup Anda? Apa yang membuat Anda rela berjuang? 




Share
Tweet
Pin
No komentar
Older Posts

About me

About Me

Rahayu Pawitri, a Mother, a Content Writer and a Productivity Enthusiast who trying to live healthy and happy.

Contact me at rahayupawitri@gmail.com or +6281312658622

NEWSLETTER

Featured Post

Ingin Renovasi Kamar Mandi atau Dapur Tanpa Overbudget? Berikut Tips dan Triknya

Pengen ganti desain kamar mandi, dengan desain yang minimalis tapi tetap sesuai dengan budget? Saya punya rekomendasi nih, bagaiman...

recent posts

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • pinterest
  • youtube

Categories

Beauty Tips content placement Content Writer drama korea Dunia Sekolah fashion featured freelancer Hangout ibu baru Investasi JICT kerja dari rumah kesehatan Keuangan Keluarga kopi me as A Blogger Mengatur Keuangan my Minutes Life olahraga Parenting penulis konten Perkembangan Anak produktivitas Review Produk Self Help Sponsored Temanggung

Blog Archive

Popular Posts

  • Butuh Ide Mengajarkan Tanggung Jawab pada Anak? Coba Trik Saya Ini
  • Ibu Rumah Tangga Juga Butuh Jadwal Harian, Lho...
  • ... Karena Setiap Ibu Berhak untuk Bahagia (Reportase Launching Buku Smart Mom, Happy Mom)
  • 7 Hal yang Paling Sering Ditanyakan Tentang Diabetes
  • Grow n Health, Suplemen untuk Mengatasi Anak Susah Makan
  • Tanpa Kamu Sadari, Bisa Saja Kamu Menderita Resistensi Insulin
  • Mencari Alternatif Alat Sterilizer yang Tepat dan Aman untuk Perlengkapan Bayi

My Blogging Community

My Blogging Community

My Others Blog

  • Emak Digital
  • Blogging Corner

Facebook

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates